Kasus pertama:
Waktu awal kuliah, pertama kali saya menginjakkan Jogja, saya mengalami musibah yang cukup membuat trauma. Begitu turun dari bus (saya turun di Janti, saat itu jam setengah 7 malam, kondisi jalan ramai karena ada kampanye suporter sepak bola lokal, tetapi pinggir jalan sepi), seseorang menyergap saya, menodongkan pisau lipat, dan meminta handphone beserta seluruh uang yang saya bawa. Tanpa berpikir, saya langsung menyerahkan Nokia 3310 dan uang saku sejumlah Rp 200 000, yang waktu itu adalah harta saya yang paling berharga.
Apakah kejadian itu membuat saya trauma? Ternyata enggak. Saya biasa saja, tetap beraktivitas dan tetap ke janti kalau memang diperlukan. Tapi kejadian sesudahnya yang membuat saya trauma.
Seperti sewajarnya anak baru, saya menceritakan pengalaman "mengesankan" itu ke orang-orang. Dan ada beberapa orang yang berkomentar: "Kamu kurang amal sih". Dan bahkan pada umur saya yang 17 tahun saat itu, saya sudah kepingin menggosok mulut orang yang berkomentar seperti itu dengan parutan kelapa #hardcore.
Kasus kedua:
Belum lama ini saya mengalami kesialan juga. Motor saya dipepet orang di pinggir selokan mataram, motor saya oleng, dan saya terjatuh. Beruntung saya hanya terjatuh di jalanan. Tetapi tas saya beserta isinya terlempar masuk ke selokan Mataram. Kejadian selengkapnya pernah saya tulis disini.
Selain simpati, rasa kasihan, dan pertolongan, saya juga menerima kembali komentar yang mengiritasi perasaan saya: "Kamu pasti kurang amal, ya?"
Sebenarnya, sejak kasus pertama, saya sudah membatasi diri untuk nggak menceritakan kemalangan-kemalangan saya ke orang lain yang nggak berkepentingan. Karena saya benar-benar merasa terganggu dengan komentar semacam itu. Dan ini bukan hanya mengenai saya. Beberapa kali saya memergoki, seseorang yang mengalami musibah dan kemudian berbagi di social media, menuai komentar: "banyak-banyak berdoa ya". "Makanya lain kali banyak amal, biar terhindar dari musibah". #blah.
Pernahkan orang-orang yang berkomentar seperti itu berpikir sebelum berbicara?
"Makanya banyak doa dan amal!"
Dengan ucapan itu mereka menghakimi bahwa orang yang terkena musibah adalah karena orang tersebut kurang doa dan amal. Dan saya sedikit emosi dengan komentar tersebut. Hai, orang-orang, apakah kamu bener-bener tau keseharian saya? Saya doa berapa kali sehari? Saya amal berapa persen dari gaji sebulan? Dan benarkah Tuhan membuat semacam aturan, harus berdoa minimal tiga kali sehari dan amal minimal 5% sebulan agar kamu terhindar dari bencana?
Saya rasa, masalah doa dan amal saya bukan urusan siapapun. Saya nggak merasa ada perlunya melaporkan kemana-mana pada saat saya melakukan doa dan amal. Jadi, saya juga nggak merasa ada perlunya orang lain mengomentari mengenai kebaikan hati dan religiusitas saya.
"Kamu pasti kurang amal, ya?"
Dan kamu yang berkomentar, merasa lebih banyak amal dari saya, ya? Dalam komentar semacam itu, terselip kesombongan. Lihat nih, saya nggak sial kayak kamu, berarti saya amalnya lebih banyak dari kamu. Iya deh, terserah kalau memang situ banyak amal. Kamu orang suci. Tapi tolong jangan menghakimi kalau orang lain kurang amal. Karena bisa saja orang yang kamu komentari bahkan amalnya beribu kali lipat dari kamu.
Baiklah, tulisan saya mulai penuh emosi :D. Kalem.. Kalem...
Kasus-kasus diatas sama seperti tanggapan beberapa orang mengenai bencana alam, yang pernah juga saya ulas disini. Orang-orang cenderung spontan berpendapat kalau bencana alam adalah hukuman dari Tuhan.
Masih ingat mengenai Tsunami Aceh? Orang-orang beramai-ramai mengungkapkan pendapat, "itu hukuman Tuhan karena anu *saya malas menulis karena pembahasan saya bukan soal itu*"
Lalu gempa Jogja. Banyak yang berpendapat kalau muda-mudi Jogja terlalu banyak melakukan sex bebas sehingga Tuhan murka.
Gempa Bali. Karena Bali kota maksiat sehingga pantas dihukum.
Letusan Gunung Berapi: hukuman Tuhan karena manusia sudah begitu banyak dosanya.
Rasanya saya ingin menutup telinga saya dan berteriap: STOP. TUTUP MULUT. KALAU NGGAK MAU BANTU YA NGGAK USAH BANTU TAPI TOLONG JANGAN MENGHAKIMI TANPA BERKACA!
Saya akan mengulang kembali apa yang sering saya tuliskan:
Kalau memang bencana alam adalah hukuman dari Tuhan, kenapa masyarakat di lereng merapi yang terkena bencana? Kenapa bukan bapak-bapak pejabat di gedung DPR yang otaknya penuh korupsi dan rekayasa? Kalau memang gempa jogja adalah hukuman atas kaum yang melakukan sex bebas, kenapa malah masyarakat pinggiran di Bantul dan Klaten yang banyak menjadi korban?
Menurut saya, bahkan sebelum manusia ada, alam sudah beraktifitas. Jadi segala bencana alam nggak ada hubungannya dengan dosa atau kurang amal atau apalah gitu.
Menurut saya, nggak sepantasnya kita menghakimi seperti itu. Yang bisa kita lakukan hanyalah melatih kepekaan dan mengulurkan tangan bagi yang membutuhkan. Karena sebagai manusia, kita nggak pernah tahu kapan alam bergejolak...