Translate

Monday, October 22, 2012

Cemburu itu tanda sayang?

Terkadang saya terheran-heran dengan pertanyaan, "apa mas Pacar nggak cemburu?"

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu biasanya muncul bila saya bercerita tentang teman laki-laki saya, kepada teman perempuan saya. Ehm...saya nggak merujuk pada satu nama khusus. Teman laki-laki saya sih banyak, sebanyak teman perempuan saya. Soalnya saya memang sudah bukan ABG 13 tahun yang nggak mau temenan sama lawan jenis :D.

Contoh skenario:

Saya : "Iya filmnya bagus. Kemarin aku nonton sama A".
Teman : "Hah? Berdua aja sama A? Mas Pacar nggak cemburu?"

atau

Saya : "Kayaknya saya minggu depan ke Bali ah, si B ngajakin niihh.. Mumpung ada temennya".
Teman : "Lhoh, pacar kamu nggak marah tuh, kamu ke Bali sama si A?"

contoh lain

Saya : "Saya besok mau njemput si C di Bandara"
Teman : "Si C mantanmu? Emangnya boleh sama pacarmu?"

Dan sebagainya.

Jujur saja sih, terkadang saya merasa aneh ditanyai seperti itu. Dan jadi bertanya-tanya sendiri:
  1. Apa si penanya kurang pergaulan sehingga nggak pernah jalan berdua dengan laki-laki yang statusnya teman?
  2. Apa pacar si penanya adalah orang yang posesif?
  3. Apa si penanya adalah orang yang posesif?
  4. Apa muka saya kelihatan seperti orang yang suka selingkuh? Deket dikit sama laki-laki langsung kepikiran selingkuh?

Maaf kalau kata-kata saya menyakiti. Mungkin ada diantara teman-teman yang membaca artikel ini yang pernah menanyakan hal semacam ini kepada saya. Tapi jujur, itulah yang terbersit di otak saya :)).

Pada suatu waktu, saya pernah nongkrong kemalaman dengan teman perempuan. Bukan hanya sekali kejadian seperti ini, tapi pernah beberapa kali. Soalnya saya kalau nongkrong memang suka lupa waktu. Dan beberapa kali juga saya dimarahi oleh pacar saya, ditelpon dan disuruh pulang. Iya, pacar saya memang nggak suka saya keluar malam sendirian, karena jalanan malam Jogja bahaya. Tapii...pacar saya malah nggak papa saya keluar malam sama laki-laki. Kenapa? Karena kalau keluarnya sama temen laki-laki, pasti saya diantar sampai ke rumah. Aman.

Pacar saya sih sepenuhnya menyadari, kalau situasinya kami berjauhan, sehingga nggak mungkin dong dia jagain saya 24 jam. Jadi kalau saya butuh pertolongan orang lain, ya nggak apa-apa. Malah mas Pacar berterimakasih pada teman saya yang sudah menolong saya atau menemani saya.

Masalah bergaul dengan laki-laki, saya rasa saya sih sudah cukup mengerti bagaimana cara bergaul dengan "teman" dan bagaimana cara bergaul dengan "pacar". Jadi nggak perlu lah pacar saya merasa perlu membatasi dan mengatur hal-hal sepele seperti itu.

"Cemburu kan tanda sayang?"

Eh...menurut saya kok enggak ya? Ini sih cuma pendapat pribadi ya, nggak perlu kok disetujui. Tapi inilah yang saya percaya. Cemburu itu bukan tanda sayang, tapi pertanda takut kehilangan. Atau kalau boleh saya malah mau membahasakan pertanda egois. Saya pikir kalau kita sayang dan kemudian memutuskan berkomitmen dengan seseorang, tentunya harus ada perasaan saling percaya. Kalau nggak ada dasar saling percaya, lalu untuk apa berkomitmen?

Ada salah seorang teman dekat saya, yang oleh pacarnya, dia nggak diperbolehkan berhubungan lagi dengan mantannya. Menilik kasusnya sih, nggak ada yang spesial dengan mantannya. Putus baik-baik. Si mantan juga sudah move on. Dan yang muncul dalam pikiran saya: Pacar baru teman saya ini berarti mengamini kalau pacarnya masih ada apa-apa sama mantannya. Lha iya kan? Kalau nggak ada apa-apa lagi kan mestinya bisa bertingkah laku sewajarnya?

Kalau saya jadi mantan pacar yang dijauhi, saya malah bakalan bangga dong. "Woh, ternyata saya masih punya "pengaruh". Buktinya sampai pacar barunya nglarang ketemu saya".

Jadi dalam pikiran saya:
Ketika seseorang marah ketika pacarnya pulang malam, karena khawatir, itu tanda sayang.
Tapi ketika seseorang marah ketika pacarnya dekat dengan teman laki-laki, itu bukan tanda sayang.

Cemburu *dalam kasus ini* berarti malah mengamini kalau pacarnya adalah tipe orang yang nggak bisa menjaga sikap dan nggak bisa bergaul.

Saya nggak munafik. Saya juga pernah cemburu kok. Tapi saya pun sadar diri kalau perasaan cemburu saya nggak ada kaitannya dengan perasaan sayang saya. Jadi saya harus meredam. Dan saya juga segera menyadari kalau pacar saya adalah pribadi yang dewasa, yang tentu mengerti hal yang baik dan yang buruk. Kalau saya memang siap berkomitmen, saya harus siap untuk percaya.

Nah, ketika saya menjelaskan soal itu kepada teman-teman wanita, banyak yang nggak ngerti. Katanya, kalau laki-laki normal malah nggak papa kalau pacarnya keluar sama perempuan, tapi keberatan kalau pacarnya keluar sama laki-laki. Wah, pacar saya nggak normal donk? :))). Ya nggak papa deh. Kalau begitu saya syukuri saja punya pacar nggak normal :D.

Saturday, October 20, 2012

Mungkin Inilah Momen Patah Hati Paling Tidak Ekspresif yang Saya Alami Dalam Hidup Saya

Ternyata saya juga punya kisah cinta yang miris.

Mmmm...kisah cinta bagi saya mungkin, tapi bukan bagi dia. Mendadak saja saya teringat. Dan kepingin bercerita.

Kejadiannya sudah lama sekali. Jaman dulu waktu saya masih belasan tahun. Saya juga sudah lupa, karena terkubur kisah-kisah ~baik cinta maupun tidak cinta~ yang lain. Tapi nggak tau kenapa mendadak saya teringat ditengah-tengah kesibukan saya membuat laporan keuangan. Mungkin mukanya mirip jurnal pembantu piutang.

Saya kurang suka memberi inisial huruf kepada seseorang. Tapi untuk menuliskan namanya pun rasanya saya malu. Jadi marilah kita sebut dia hanya dengan kata ganti orang ketiga.

Dia mungkin cinta pertama saya. Usia saya dengan dia terpaut lumayan riskan. Ada kali ya lima tahun? Jadi ketika saya masih kecil, dia terasa sudah sangat dewasa. Tapi semakin saya bertumbuh besar, jarak lima tahun terasa semakin menyempit.

~ Begini, cowok berusia 20 tahun pasti gengsi dong, kalau ngecengin ABG 15 tahun? Tapi cowok 27 tahun nggak akan merasa bermasalah ketika mengencani cewek berusia 22 tahun, kan?. ~

Waktu kecil, saya diam-diam naksir dia. Nggak serius. Ya taulaahh..cinta-cintaan anak kecil. Bukan cinta monyet juga sih. Lebih ke semacam cita-cita: "kalau besok udah gede aku mau punya pacar kayak dia". Dia nggak ganteng sebenarnya, tapi jenaka. Sewaktu saya kecil, rasanya dia ganteng sekali. Tapi ya saat itu dia nggak mungkin menoleh ke arah bayi seperti saya.

Sampai akhirnya saya remaja, saya mulai bisa masuk dalam satu lingkup pergaulan yang sama dengannya. Terus saya deketin gitu? Enggak :p. Saya malu. Alih-alih mendekatinya, saya malah dekat dengan orang lain yang saat itu saya pandang paling mirip dengannya, yang kebetulan juga sedang mendekati saya *ruwet deh pemilihan kata saya*. Yang lebih terjangkau. Dan akhirnya saya pacaranlah dengan dupe-nya dia. Dia KW rrrr...dua?

Tapi ini bukan kisah tentang pengalihan cinta kok. Waktu pacaran, saya bener-bener suka dengan pacar saya. Saya menikmati saat-saat bersama pacar saya. Tapi saya masih menyimpan kekaguman untuknya. Dalam hati saja tentunya.

Dan ditengah masa-masa saya pacaran dengan cinta monyet saya yang mirip dia, dia nembak saya. Caile...bahasanya nembak :D. Iya deh, nembak aja. Toh saat itu saya masih ABG. Jadi penggunaan bahasa-bahasa ABG nggak ditabukan :D.

Saya?

Kelimpungan bukan buatan. Tapi saya memang orang paling nggak ekspresif sedunia. Saya cuma ber-ohh.. dan ahh.. Ya lagian mau bagaimana lagi? Toh saya punya pacar, dan masa pacaran saya sedang unyu-unyunya.

Tapi kejadian itu cukup membuat saya GeeR dan nggak bisa tidur semalaman.

Keesokan harinya, saya berniat untuk bercerita tentang hal ini kepada teman dekat saya. Biasa ini, ABG. Curhat gitu istilahnya. Tapi saya dikejutkan oleh sesuatu. Sebelum saya bercerita apapun, teman saya tersebut nyerocos panjang lebar:

Bahwa kemarin dia ke rumah teman saya itu ~ yang berarti sesaat setelah dia pulang dari rumah saya ~. Dia menceritakan semuanya kepada teman saya itu, bahwa dia nembak saya. Bahwa dia menyesali kebodohannya sudah nembak saya yang sudah punya pacar ini, apalagi melihat reaksi saya yang cuma cengar-cengir nggak jelas. Dan diakhiri dengan....dia nembak teman saya. Ehem...teman saya nggak menerima tentu saja.

Jadi dia menyesal? Ohh...

Jadi hari itu adalah hari nembak cewek sedunia? Semua cewek yang ditemui wajib ditembak? Ohh...

Tetootttt!! Alarm pertama yang mengingatkan saya untuk nggak GeeR berlebihan.

Teman saya lebih pintar dari saya. Nggak ada cerita teman saya galau semalaman, karena teman saya tahu kalau dia sedang menghadapi laki-laki yang entah sedang bingun atau buaya namanya. Jadi cuma saya yang galau nggak penting. Aduhh... Untung saya belum cerita kepada siapa-siapa XD.

~ Kalau mas Pacar menyebut laki-laki seperti itu: Bobi. Boyo Bingung :))) ~

Saya mencoba melupakan. Tapi jujur saya masih galau. Walau tahu saya sasaran buaya, tapi tetap saja kejadian itu membekas. Ya maklum lah ya, udah naksir sejak balita.

Kehidupan saya yang membosankan bersama pacar-pacar yang datang silih berganti yang juga membosankan terus berjalan.  Saya kuliah, pindah ke Jogja. Beda kota dari dia. Sibuk. Mengejar IP. Kerja Part time. Sok-sokan berorganisasi kemahasiswaan. Teman baru. Hobi baru. Aktivitas baru. Pacar baru. Nongkrong-nongrong. Lupa.. Atau tepatnya mencoba lupa.

Sampai suatu ketika, saya lupa tepatnya oleh kejadian apa, dia muncul lagi. Dan saat itu saya nggak punya pacar. Saya berbunga-bunga lagi. Teringat perasaan yang dulu-dulu. Lalu kami dekat. Saya menikmati momen melayang-ke-langit-ketujuh waktu itu. Kedekatan kami kali itu berbeda, terasa lebih istimewa.

Tapi kemudian pada suatu waktu dia menghilang tanpa kabar.

Lewat beberapa hari, saya memberanikan diri menyapa, "hei..kenapa kamu nggak berkabar?"

Nggak disangka dia membalas: "Nanti aku jelaskan semuanya".

Sejak itu saya melewati hari dengan galau lagi. Penjelasan yang saya tunggu nggak pernah datang.

Sampai pada beberapa hari kemudian, saat saya duduk di bangku Gereja pada hari minggu biasa, tibalah pada pengumuman pernikahan Gereja. Namanya disebut. Ternyata oh ternyata...

Saya teringat alarm pertama saya waktu masih ABG. Dan inilah alarm kedua saya untuk nggak terlalu serius menanggapi seseorang, bila semuanya belum jelas. Bila perasaan belum terungkapkan.

Ya sudah lah...

Saya patah hati, tapi bersikap biasa saja. Alarm kedua sudah berbunyi, waktunya saya menyembunyikan perasaan. Jangan berlebihan mengumbar segala hal yang belum pasti.

Saat hari pernikahannya pun saya datang. Mencium pipinya mengucapkan selamat dan ikut berbahagia seperti teman-teman yang lainnya. Mungkin inilah momen patah hati paling tidak ekspresif yang saya alami dalam hidup saya.

Memandanginya di pelaminan, dan berkata pada diri sendiri: "sudahlah, inilah akhir cinta balita saya. Waktunya saya mencari sosok yang lain".

Dan begitulah semua berlalu.

Saya dengan pacar-pacar saya yang silih berganti. Dia dengan keluarga kecilnya, istri dan anak-anak yang bermunculan. Terkadang kami masih saling bertukar salam melalui media sosial, walau sangat jarang. Saya masih mengagumi, tapi sudah nggak akan terjerat.

Nggak ada tangis-tangisan. Nggak ada patah hati berlebihan. Yang ada cuma senyum datar. Perasaan saya kepadanya mungkin nggak tersampaikan dan nggak diketahui siapapun. Tapi saya nggak pernah menyesal, karena kalau tersampaikan mungkin malah akan memalukan XD.

Sekarang rasanya saya ingin kembali bertukar kabar. Dan mengucapkan kepadanya: "hei...aku akan menikah tahun depan. Datang, ya. Beri selamat dan cium pipiku seperti yang kulakukan waktu hari pernikahanmu dulu".

Thursday, October 18, 2012

Bolehkah saya sejenak beristirahat?

Terkadang memulai haripun rasanya begitu berat. Sinar matahari pagi yang jatuh hangat di muka saya melalui jendela kamar rasanya seperti lampu sorot yang membutakan. Aktifitas pagi jalanan kecil di depan rumah terasa memekakkan.

Rutinitas ini dan itu yang biasa saya jalani seperti bernapas, hari ini serasa seribu kali lebih berat. Berkas-berkas, laporan keuangan, klien yang datang silih berganti membuat kepala saya berkunang-kunang.

Ucapan yang biasa sajapun terasa bagai sengaja menyulut emos.

Kepala saya terbakar di tengah hujan yang mendera Jogja...

Bahkan berbicara tak tentu arah dengannya, yang biasanya mampu merekahkan senyum saya, kali ini serasa tak bermakna. Hanya senyum basa dan goda-menggoda yang basi.

Dunia, saya ingin sejenak beristirahat...

Friday, October 12, 2012

Rahasia Terbesar yang Sampai Saat Ini pun Belum Saya Ungkapkan Kepada Orang Tua Saya: Bahwa Sejak Kecil, Saya Sudah Menemukan Lorong Rahasia ke Jalan Terlarang

Kebetulan hari ini saya berada di Solo, kota kelahiran saya, kota tempat saya melewatkan masa kecil sampai remaja, dengan segala romantika dan problema :D.

Dan kebetulan juga saya mempunyai sedikit waktu untuk "napak tilas".

Rumah saya bukan di Solo tepatnya, tapi di sebuah desa kecil di pinggiran kota Solo. Boleh deh disebut kampung. Saya suka disebut kampungan alias orang kampung. Kampung itu polos, lugu, jauh dari polusi udara dan suara, semua penduduknya saling mengenal, saling menolong, saling bergosip. Kampung itu menyenangkan. Saya memang lebih cocok jadi orang kampungan daripada orang metropolitan.

Waktu kecil, saya suka sekali keliling desa naik sepeda BMX kecil andalan saya. Lalu memarkir sepeda di salah satu kebun tetangga, dan memanjat pohon talok atau pohon jamblangan yang buahnya menggrembuyung, makan talok dan jamblangan yang dipetik langsung dari pohon, sambil nangkring menikmati sepoi angin di salah satu dahannya.

Pohon talok di depan masjid deket rumah saya juga merupakan tempat persembunyian saya, kalau saya malas tidur siang. Dari atas pohon talok pada jam dua siang, akan terdengar suara ibu saya berteriak-teriak memanggil menuruh saya pulang dan tidur siang. Semakin keras suara ibu saya, semakin rapat saya bersembunyi diantara dedaunan.

Di belakang pohon Jamblangan yang berjajar, ada lautan ladang tebu. Kalau saya kesana, terkadang bapak yang sedang mengawasi ladang tebu *mungkin pemilik, mungkin pekerja, entah saya abai* akan menebaskan saya sebatang tebu. Mengupaskan, dan memotongkan kecil-kecil untuk saya dan teman-teman saya. Saya akan keasikan menghisap-hisap batang tebu sampai habis sari manisnya, ditengah ladang yang dipenuhi capung warna-warni *kalau sedang musim capung*.

Jalan raya merupakan tempat terlarang bagi saya waktu itu. Bapak ibu saya akan menjewer sampai telinga saya merah dan panas kalau saya ketahuan nekat bersepeda ke sana. "Bahaya. Itu tempat buat orang yang udah gede. Kalau anak kecil bisa ketabrak," kata bapak saya.

Sampai suatu ketika, saya bermain di sebuah kebun milik tetangga saya sendirian. Saya iseng menyusuri pagar pembatas bagian belakang kebun, yang berupa tanaman merambat setinggi rumah. Dan hei, ada lubang di sana. Saya merangkak melalui lubangnya, kemudian berjalan mengikuti gang yang berkelok-kelok, dan....sampailah saya di jalan Raya.

Howaaa...

Saya merasa keren sekali waktu itu. Saya menemukan jalan rahasia menuju ke jalan terlarang! Tapi saya takut. Saya hanya berani berdiri sampai di ujung gang yang mengarah ke trotoar pinggir jalan raya. Kata bapak saya, saya bisa ketabrak kalau ke jalan raya.

Saya juga teringat ketika saya berantem dengan teman *saya hobi berantem dulu. Sampai guling-guling menjambak dan memukul teman laki-laki*, atau terjatuh dari sepeda, atau  ketika saya dimarahi tetangga karena mengejar-ngejar anak ayam milik mereka lalu menangis. Bapak saya akan datang, dan menggendong saya pulang. Saya akan terus menangis keras dalam gendongan diperjalanan pulang. Dan sampai rumah saya malah dimarahi. Tapi tetap saja, kalau sudah menangis di luar, saya nggak mau pulang kalau bapak saya nggak menjemput dan menggendong :')

Dan kali ini, sekitar 20 tahun kemudian, saya kembali mengitari kampung saya, dengan sepeda yang lebih besar tentunya.

Pohon talok masih ada, tapi nggak ada anak-anak kecil di dahan-dahannya. Kemana mereka? Mungkin sedang main playstation atau facebookan di rumah. Atau mungkin sedang ke mall membeli es krim Baskin Robin. Pak es tung tung yang lewat pun berlalu begitu saja, tanpa ada yang memanggil. Padahal pak es tung tung jaman saya kecil dulu menjadi primadona bagi anak kecil di kampung saya, bersama pak patah bakso ojek.

Pohon Jamblangan, lautan tebu, dan kebun capung sudah nggak ada, digantikan dengan jajaran rumah-rumah mungil berpola seragam. Hmmm....

Kebun tetangga-tetangga saya juga sudah banyak yang hilang. Digantikan bangunan rapat-rapat. Tapi hei...kebun rahasia yang memiliki pintu ke jalan terlarang masih ada, walau sedikit berubah. Penasaran saya sandarkan sepeda. Karena sekarang saya sudah besar T.T, maka saya mengetuk rumah di samping kebun untuk meminta ijin dulu. Tapi malah tetangga depan rumah yang melongok, dan bilang kalau bu Ratna sudah pindah, sekarang rumahnya kosong.

Saya memasuki kebun yang terbengkalai. Terus ke belakang dan menemukan pagar pembatas yang dulu rasanya setunggu rumah. Ternyata hanya dua meter :D. Lalu saya mencari lubang yang dulu, masih ada. Tapi tentunya saya nggak bisa merangkak melalui lubang tersebut. Bukan karena nggak muat, tapi karena saya sudah besar T.T.

Lalu saya mengarahkan sepeda saya ke jalan raya yang sudah nggak terlarang bagi saya, dan mencari gang yang mengarah ke kebun tersebut. Saya memasukinya dengan menuntun sepeda saya, menyusuri gang sempit yang *ternyata* pendek. Dan sampai pada pagar tanaman yang tanahnya berlubang.

Cuma berdiri dan melihat.

Mungkin kalau sekarang saya merangkak disitu, akan sangat konyol. Tapi rasanya dulu hal itu adalah penemuan paling keren di dunia. Rahasia terbesar yang sampai saat ini pun belum saya ungkapkan ke orang tua saya. Bahwa sejak kecil, saya sudah menemukan lorong rahasia ke Jalan Terlarang...

Sekian petualangan saya hari ini.

Tuesday, October 2, 2012

Masih di Dalam Permainan Nasib

Kadang kala ketika terbangun di tengah malam menjelang dini pagi seperti ini, saya tidak bisa menghentikan pikiran saya untuk berkelana. Membayangkan seandainya saya tidak memilih berada di jalan ini.

Seperti yang kita semua tahu, setiap detik di kehidupan kita, kita dihadapkan pada bermilyar kemungkinan yang bisa kita pilih. Apakah saya mau menunduk. Apakah saya mau mengedip. Menoleh. Mengetik. Melambai. Berlari. Menyapa. Mencinta. Mengalah. Marah. Memilih. Dan masih banyak pilihan. Tersedia dalam hidup kita setiap detiknya.

Seandainya saya tidak berkedip tiga detik yang lalu, akankah nasib saya berubah?

Seandainya saya memilih untuk tidak tidur dan menciptakan sebuah karya, apakah kemudian saya akan terkenal?

Seandainya pada suatu saat di masa lalu saya memilih untuk memaafkan, apakah saya akan bahagia?
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...