Translate

Wednesday, February 27, 2013

Kehilangan dan Kecanggungan

Malam ini, sampai dengan hari berganti alias tengah malam, ketika semua orang tenggelam dalam tidurnya, saya malah bongkar-bongkar menimang-nimang handphone saya. Dan kemudian galau, sms nggak ya, sms nggak ya?

Kaya ABG yah?

Penyebab kegalauan saya adalah salah seorang teman saya yang menghilang....di Facebook :D. Saya memang punya semacam hubungan khusus dengan dia. Mungkin saya harus cerita dari awal.

Dulu pernah ada suatu masa saya dekat sekali dengan dia. Dia itu orang terdekat saya, saya orang terdekat dia. Hampir setiap hari kami ketemu. Pulang sekolah selalu menyempatkan diri mampir ke es campur manahan atau warung mie ayam depan pom bensin untuk sekedar makan siang bersama dan saling bertukar cerita.

Lalu pada suatu waktu, jalan kami bersimpangan. Banyak hal sih yang memisahkan. Antara lain jarak antar kota, teman-teman baru, lingkungan baru, kesibukan, hobi, dan masih banyak lagi. Oh...tadinya kami didekatkan oleh hobi yang sama. Lalu kemudian minat saya terhadap hobi kami tersebut menyurut dan kemudian hilang. Dan kami seakan menjauh...

Tapi dalam ingatan saya, dia masih seseorang yang menyenangkan. Bukan orang yang membuat saya nyaman, tapi orang yang selalu membuat saya menebak-nebak dan deg-degan. Bukan orang yang bakalan saya ajak mengarungi bahtera rumah tangga, tapi orang yang akan selalu saya cari disaat hidup saya begitu membosankan. Dan menurut saya, setiap perempuan ada baiknya merasakan suatu waktu berdekatan dengan orang seperti dia. Sungguh pengalaman tak terlupakan :).

Setelah kami nggak lagi "dekat", sepertinya ada suatu ganjalan diantara kami. Rasanya jauuuhhh banget dan setiap kami nggak sengaja ketemu pun, obrolan yang terjalin rasanya cuma basa basi yang kian basi. Dan ujung-ujungnya, kami jadi saling menhindari. Canggung gitu..

Dan baru setahun belakangan ini, seperti ada sesuatu yang mencair diantara kami. Tentunya kami nggak bisa sedekat dulu, karena yang dulu cuma potongan kisah monyet dan saat ini kami sudah memilih jalan kami masing-masing. Tapi saya seolah menemukan teman lama, seseorang yang sudah lama nggak saya temui. Saya mengalami sesuatu yang mengasyikan dengannya berupa "obrolan tengah malam". Bukan obrolan yang membuat perasaan nyaman, tapi obrolan penuh perdebatan dan ejekan-ejekan nylekit yang seolah menjadi candu. Setiap malam rasanya saya dan dia rutin melakukannya.

Dan obrolan tengah malam selalu kami lakukan di....chatbox Facebook.

Jadi pada saat saya online jam segini, biasanya saya sedang mengalami obrolan menyenangkan bersama teman lama.

Tapi sudah satu setengah bulan dia nggak pernah online lagi. Dan januari lalu dia ulang tahun. Saya bingung, antara kehilangan, pingin mengucapkan, oh...karena dia suaranya bagus dan dulunya seorang penyanyi walau nggak terkenal, saya kepingin meminta dia menyanyi saat perkawinan saya, satu laguuu aja. Tapi saya bingung menghubunginya. Facebooknya nggak pernah aktif.

Mau sms rasanya juga aneh. Soalnya selama ini kami cuma berhubungan lewat chat Facebook. Bahkan nggak pernah wall-wall-an. Dan dia nggak punya Twitter, Line, Wazap, dll. Kalau chat via Facebook, rasanya nggak nyata gitu, mengambang melayang gimana ya jelasinnya? Kalau saya harus menghubunginya via SMS, rasanya akan beda. Akan terasa nyata dan saya canggung. Karena sebenarnya, senyatanya segala hal diantara kami masih dipenuhi kecanggungan.

Wednesday, February 20, 2013

Cerita Seorang Mendes

Kepulangan saya kali ini adalah untuk pemilihan kepala desa.

Iya betul! Demi pemilihan kepala desa yang puenting banget ini, ibu saya sudah mengancam saya sejak sebulan yang lalu. pokoknya saya harus pulang! Dan demi event maha penting ini, saya ijin kerja dua hari. Ibu saya benar-benar serius waktu bilang kalau saya harus datang.

Maka datanglah saya tanpa angin dan hujan, di pertengahan minggu, seolah-olah saya ini pengangguran. Demi pemilihan kepala desa yang bahkan saya nggak tau siapa aja calon-calonnya.

Atas itikad baik demi kemajuan desa, saya menanyakan kepada ibu saya, "siapa nama calon-calon kepala desanya?". Ibu saya menjawab, "Joko."

"Joko. Dan siapa oposisinya?"

"Calonnya cuma satu kok."

"Hah? Terus ngapain kita nyoblos-nyoblos gambar dia kalau nggak ada pilihan lain?"

"Ya aturannya begitu mau gimana lagi?"

-_______-

Setidaknya formalitas pemilihan calon tunggal kepala desa ini membawa saya pulang ke rumah saya di suatu desa di pinggiran kota Solo. Maka seperti biasanya jika saya di rumah Solo, saya mengeluarkan sepeda saya di sore tadi.

 

Ini penampakan sepeda saya. Selalu begini dari masa ke masa. Bapak saya selalu membelikan yang berkeranjang begini, cuma ukurannya yang selalu berubah seiring pertumbuhan umur saya. Waktu kecil, saya suka mengambil apa saja yang menarik di jalan lalu saya letakkan di keranjang dan kemudian saya bawa pulang. Mulai dari buah talok dan jamblangan, batu-batuan lucu, pelepah pisan, batang tebu, sampai anak kucing juga pernah saya bawa pulang.

Sore tadi agak sedikit berbeda. Saya merasa sangat bersemangat menggenjot sepeda saya. Dan saya juga nggak lupa bawa kamera di keranjang sepeda saya. Makanya saya sempat mengambil banyak foto.

Saya pernah bercerita sekilas mengenai desa saya di post yang ini. Tapi bisakah kalian bayangkan bentuk senyatanya? Ini foto rumah yang disampingnya ada lorong rahasia menuju jalan terlarang:
 
 

Jangan dibayangkan ala perkampungan di Jogja kota atau jakarta sekalian ya. Nggak ada Indomaret di desa saya. Desa saya itu bener-bener desa yang kampungaaaannn banget. Dan saya cintaaaa banget. Biasanya cewek-cewek dari kampung seperti ini dibust mendes, mentel desa. Dan iya, saya adalah produk mendes desa saya. Jangan salah ya, mendes juga bisa kuliah dan lulus kumlot >'<. Nah, kalau cowok-cowoknya sering disebut gondes, gondrong desa. Meskipun nggak banyak sih yang gondrong.




Itu kampung saya. hijau banget yah. Saya betah banget kalau disuruh sepedaan disini. Kalau di Jogja, baru lima belas menit aja rasanya udah pengen muntah-muntah. Kalau disini, ya ampun, kalau nggak dicariin bapak saya mungkin saya udah lupa pulang.

Tapi tentu saja nggak semua hal tetap seperti itu. Demikian pula kampung saya. Salah satu spot yang dulunya kebun tebu, mendadak menghilang digantikan dengan perumahan modern:
 

Iya saya tahu, kalau pabrik gula di kecamatan terdekat sudah tutup dan nggak giling lagi. Makanya kebon tebu pada dipapras dan tanahnya terbengkalai. Tapi saya kangen sama suasana desa saya yang dulu. Yang banyak tebu, semak, sawah, kebun, kucing, ayam, dan ular. Bukan batu dan semen dan aspal.

Dan ada apa dengan mas-mas gondes disini ya? Jaman dulu, kalau ada mbak-mbak mendes naik sepeda lewat, pasti mereka suit-suit dan senyum-senyum menggoda. Tapi ketika saya lewat dengan sepeda berkeranjang saya, beberapa kumpulan gondes yang saya lewati cuma diam saja :|.

Dan pada suatu tikungan, saya dilewati oleh mbak-mbak yang naik motor mio, bertanktop pink, kaca mata hitam selebar muka, dan tentu saja rambutnya di cet warna ash. modern sekali. Mas-mas gondes yang tadi ngacangin saya bersuit-suit menyuiti mbak-mbak mio tadi.

Yah, jaman sudah berubah. Saya sudah tidak masuk kriteria untuk jadi mendes sepertinya. Gaya saya kurang gaul dan masa kini untuk disebut seorang mendes lagi. Saya sedih. Saya kangen masa lalu :'(.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...