Translate

Tuesday, December 16, 2014

Doakan Teman Saya, Ya...

Semalam saya bermimpi soal teman saya dan Dien-chan, dan lumayan absurd. Oke, teman saya mungkin nggak absurd, karena saya dan suami beberapa kali membicarakan dia (dengan frustasi) akhir-akhir ini. Saya mau cerita sedikit soal mas-mas ini. Teman saya ini adalah temen deket saya dan suami saya sejak jaman kuliah s1, dia seangkatan sama kami. Kami udah traveling kemana-mana barengan dan melewati banyak hal.

Nah, kalau Dien-chan, baru super absurd. Bukan karena dia absurd :p, tapi karena sebenernya saya nggak kenal dia di dunia nyata, nggak lagi mikirin dia, dan bahkan nggak ada yang akhir-akhir ini ngomongin dia ke saya. Oke, Adien ini adalah salah satu blogger yang blognya saya follow. Ini blognya: http://dien-chan.blogspot.com/. Kesan saya orangnya manis, girly, dan suka make up. Selebihnya nggak tau ya. Karena beneran saya nggak kenal, cuma sesekali komen-komenan, bahkan nggak pernah chating, dan si Adien ini juga kayaknya nggak pernah koar-koar soal kehidupan pribadinya di blog.

Balik ke temen saya, diantara temen-temen deket saya yang lain, teman saya yang satu ini punya karakter yang paliiing baik. Orangnya care sama temen, punya empati yang luar biasa tinggi, selalu mau mendengarkan kalau ada yang gundah dan kemudian curhat, jarang marah, selalu mau kalau dimintain tolong (ya selama dia bisa, tapi seringnya bisa), pokoknya paling bisa diandalkan deh. Teman saya ini juga kalau saya lihat-lihat sebenernya lumayan gantheng deh rrrr....kalau dia mau sedikit lebih sering mandi dan sedikit perhatian sama pakaiannya.

Tapi ada satu kekurangan fatal yang terus terang aja meresahkan kami semua. Mungkin memang bukan urusan kami-kami secara langsung, tapi karena kami peduli, dan kami dicurhatin emak-nya (HA!), mau nggak mau itu kemudian jadi urusan kami. Dia ini belum lulus s1! Oh iya, kami ini angkatan 2003! OMG! Hitung sendiri lah ya berapa kali dia kuliah s1! Bahkan saya dan beberapa teman yang jenjang pendidikannya lebih dari s1 sudah lulus bertahun-tahun-tahuuunnn yang lampau.

Saya sih nggak masalah dengan orang lain yang belum lulus. Saya nggak comel sembarangan sama urusan orang kok, saya juga nggak bisa dong mencurahkan seluruh emosi jiwa saya ke semua orang yang saya kenal yang belum lulus. Tapi ini Dia, dan ini beda karena saya peduli. Saya dan teman-teman yang lain lebih tepatnya! Karena kepedulian kami, dan karena sepeduli-pedulinya kami, kami juga nggak bisa berbuat apa-apa, karena skripsi hanya bisa diselesaikan dengan kemauan pribadi si pembuat, jadi yang kami lakukan adalah menyindir.


Saturday, November 29, 2014

Kenapa Email Saya Nggak Dibalas, Kak?

Sekitaran minggu lalu saya dapet email dari seorang reader, yang ditulis dengan penuh emosi jiwa :D. Kata-katanya lumayan pedas, menggairahkan, menggelora, memancing air mata, sekaligus mengundang tawa saya. Email tersebut ditutup dengan kata-kata mutiara: "Allah nggak tidur!" Beehhh...dalem!

Ya sudah kita persingkat saja, inti dari email tersebut adalah: "kenapa kamu nggak pernah membalas email saya?"

Saya nggak balas di email kepada yang bersangkutan langsung karena saya rasa banyak disini yang mengalami emailnya nggak saya balas. Bukannya saya mau sok ngartis, sok sibuk, sok oke, atau gimana gitu ya. Tapi sejujurnya saya ini orangnya pemalas. Misalnya nih, saya udah pernah menjelaskan tentang hal itu, tapi ditanya lagi ditanya lagi, saya malas aja jawabnya. Padahal nih ya, belum tentu orang yang ngimel saya itu baca. Ya disitulah salahnya saya. Saya menyama ratakan semua orang :D.

Maka, dengan post ini saya mau memperbaiki kesalahan saya. Post ini juga semoga aja bisa jadi solusi kemalasan saya. Jadi bila ada yang ngemail dan saya malas balas panjang lebar, saya tinggal ngasih link ke post ini, dan orang tersebut saya harapkan mengerti kenapa-kenapanya.

Email yang nggak akan saya balas adalah:


Thursday, November 13, 2014

Selingkuh Semalam

Obrolan pas bangun tidur

Saya: "aku selingkuh!"
Suami: "kapan?"
Saya: "Semalem."
Suami: ..... *bobok lagi*

***

Jadi memang udah lama banget saya merencanakan pengen ke Bali, untuk kesekian kalinya. Ahelah, wisata kok ke Bali. Menstrim amat, mbak? Ya terserah lah orang mau bilang apa. Tapi Bali itu memang punya kenangan dan arti tersendiri buat saya. Jadi memang selalu ada tempat di ruang hati bagian kangen saya untuk pulau itu.

Kebetulan banget, akhirnya saya dapet tiket pesawat ke Bali, dan kebetulan juga waktunya pas pas pas banget. Jadilah saya berangkat sendirian. Tapi tentunya nggak enak dong ya, wisata sendirian. Mmm...walau nggak masalah juga sih, saya udah biasa mah pergi sendirian. Lebih enak kalau dibanding pergi sama orang yang reseh. Tapi kalau paling ideal sih memang pergi sama orang yang menyenangkan. Sukur-sukur si orang menyenangkan itu juga gantheng.

Sebenernya saya udah ngajakin seseorang buat nemenin saya pergi. Tapi dia nggak bales ajakan saya. Beneran nggak bales. Menolak enggak, tapi bilang ho'oh juga enggak! Nyebeliiinnn banget deh. Rasanya tuh gondok sampai ubun-ubun. Padahal buat ngajakin dia tuh saya udah ngumpulin keberanian. Kalau ditolak kan malunya setengah mati. Terus juga saya ngumpet-ngumpet dari suami saya.

Sampai hari H ternyata dia tetep aja nggak respon. Ya sudah lah, mumpung waktunya juga pas, yang mana saya belum tentu tahun ini dan tahun depan punya waktu lagi untuk ke Bali, akhirnya saya berangkat sendirian. Pas packing pun saya masih merasa setengah gamang. Sedih banget tau nggak seeehhh, rasanya, dicuekin!


Friday, October 24, 2014

Alasan Satu Sampai Enam & Apa Kata Sophia Latjuba


Salah satu online shop yang bekerja sama sama saya di blog sebelah bilang: "stress lu. Hobi kok pindahan!" Hahahaa... Iyee. Yang ngikutin saya secara nyata dua tahun belakangan ini memang hidup saya kelihatannya rubes. Super happy tapi rubes!

Bayangin aja, saya kan awalnya kerja di Jogja yah. Lalu tiga bulan sebelum nikah, saya resign dan pindahan gitu ke Solo, ke rumah orang tua saya. Saya di Jogja udah selama 10 tahun, dan udah ada rumah. Kebayang nggak tuh rubesnya kayak apa. Mindahin 10 tahun kehidupan saya. Belum lagi saya orangnya super rempong, agak susah kalau disuruh buang-buang benda-benda yang bagi saya punya nilai histori. Eh, bahkan disuruh ngebuang kardus bekas kosmetik aja saya susyeeee. Selalu yang diotak saya tuh, "duh, besok kalau butuh pegimane dooong?!"

Setelah 3 bulan di Solo, jadi anak mami lagi, kemudian saya diboyong ke Jakarta oleh suami saya. Lagi-lagi pindahan bok. Mindahin seluruh kehidupan saya ke Jakarta. Itu lebih rubes lagi, karena kali ini saya kan mau menetap. Kalau pas di Solo kan di pikiran saya, saya hanya sementara tuh, sampai nikah aja. Kalau yang di Jakarta ini entah sampai kapan, sampai suami dimutasi kali yaaa.

Awal di Jakarta, saya dan suami belum dapet rumah, jadi masih tinggal di kos suami, di daerah Tebet. Sekitaran 3 bulanan lah saya disono. Dan gara-gara ngekos ini saya dapet pelajaran berharga, orang jaman sekarang ternyata lebih mentingin gengsi dan pandangan orang lain dibandingkan dengan kenyamanan hidup! Atau bagi mereka, kalau kelihatan miskin dan nggak gaya itu sama dengan nggak nyaman ya?


Tuesday, September 9, 2014

Suatu Hari di Cathedral


"Diajeng, meskipun Mas ini tidaklah gantheng, tapi Mas fotografer loh! Mari kubuktikan. Akan kupotret wajah ayumu dengan kamera mahalku, berlatar belakang Cathedral yang megah. Tapi setelah ini kita pacaran ya."

***


Minggu lalu saya memang ke Cathedral Jakarta. Suami saya kaget waktu ujug-ujug saya ngajak ke Gereja. "Iya, saya sedang kepingin foto-foto." Yang merasa niat saya pergi ke Gereja salah, tolong jangan komentar karena niat ibadat ataupun niat hidup saya bukan urusan kamu.

Cathedral ini adalah sebuah bangunan gereja yang sangat mewah dan megah, sekaligus mempunyai nuansa romantis. Ketika perayaan ekaristi digelar, pada bagian atapnya yang super tinggi akan tetap ada burung-burung gereja yang berterbang kian kemari. Iya, burungnya ada di dalam ruangan gedung Gereja. Tapi tenang, karena sampai saat ini belum ada jemaah (seperti suami saya) ataupun turis (seperti saya) yang mengeluh ketiban tahi saat berdoa atau foto-foto.

Untuk membuktikan bahwa saya sungguh-sungguh ke Cathedral, saya akan suguhkan foto diri saya dengan latar belakang Cathedral, walaupun suami saya bukan fotografer dengan kamera mahal:



***

Yang tertulis pada baris paling atas adalah dialog imajiner yang melintas di benak saya, ketika melihat hasil foto saya yang paling atas tersebut. Pada bagian tengah Cathedral, tepat di depan altar, ada seorang mas-mas kerempeng dengan DSLR yang tampak berat, sedang membidik seorang perempuan modis bergincu merah yang saya sinyalir sebagai bribikannya.

Dialog tersebut tercipta karena saya ingat pernah dicurhati oleh seorang teman saya. Adiknya teman saya, tepatnya. Dia masih kuliah, masih remaja, cantik, ceria, kinyis-kinyis.

"Mbak, aku jomblo!"
"Kasian. Masih jaman?"
"Makanya, cariin dong?!"
"Masa nggak bisa cari sendiri? Katanya miss gaul?"
"Maunya sih pacaran sama fotografer..."

Saya kemudian jadi teringat lagi, beberapa kali ada remaja yang cerita ke saya, bercerita ke orang lain kemudian diceritakan ke saya, ataupun saya lihat dari status facebook dan timeline twitter-nya, bahwasanya dia: kepingin punya pacar fotografer.

Oh iya, saya juga punya teman, laki-laki, pekerja kantoran, domisili Solo, jomblo (sekalian ini dia minta numpang promosi). Baru-baru ini dia mendadak saja kepingin beli kamera mahal dan belajar fotografi. Bukan sebagai profesi cuma sebagai hobi. Beberapa kali saya lihat di akun facebook-nya, hasil jepretannya yang rata-rata adalah dedek-dedek remaja perempuan dengan pose yang sedikit mmm...nyeni :D.

Suatu saat saya iseng tanya ke dia:
"foto situ kok mbak-mbak seksi mulu, Mas?"
"Iya dong. Masa mau moto mbak-mbak nggak seksi kayak situ."
"Pret! Maksudnya moto pemandangan gitu lho mas sekali-sekali."
"Iya, moto gunung kembar."
"Pret! Kenapa mendadak suka moto mas?"
"Seneng aja. Ternyata asik banget! Bla bla bla" *bercerita soal fotografi, yang saya nggak mudeng*
"Ooo.." *manggut-manggut sok yes* "Ada keuntungan lain?"
"Berhubung aku memang nggak niat kerja di sektor ini, ya kalau maksudnya keuntungan uang nggak ada. Tapiiii...aku jadi digandrungi dedek-dedek seksi. Ihik!"

***

"Kamu masih pengen punya pacar fotografer?"
"Masih, mbak! Mau ngenalin?"
"Mmm...memangnya kenapa sih kepengen punya pacar fotografer?"
"Soalnya aku suka difoto"
"Wah, mendingan kalau gitu pengen punya pacar milyader aja. Kalau cuma pengen difoto, kan bisa tuh minta dibayarin fotografer papan atas. Sekalian minta dibeliin outfits buat kamu tofoto. Plus dibayarin nyalon sebelum foto biar hasil fotomu makin kinclong. Juga dibayarin member gym biar pas difoto kamu udah agak seksian dikit. Dan setelah sesi pemotretan kan laper tuh, bisa mintak dibayarin makan di restoran mahal"
"...."

***

Tulisan ini nggak bermaksud apa-apa. Cuma obrolan basi. Toh saya juga punya mantan pacar yang profesinya fotografer. Dan suami saya walau bukan fotografer tapi juga hobi fotografi. Dan saya juga suka difoto-foto ala model gitcyu #poseseksi.

Thursday, August 28, 2014

Hati-hati Mengatai

Dulu ketika saya masih muda dan bumi belum sepanas ini, pernah ada lagu beken yang dipopulerkan oleh seorang penyanyi atau raper ya saya lupa? Lirik bekennya:
"Muke lu jauh!"
"Ke laut aja!"

Kebekenan itu menyebar di seantero kawasan tempat nongkrong anak gaul dan ter-uptudate di daerah saya. Saya pun ter-influence, karena saya dulunya masuk dalam spesies anak gaul. Atau dimasuk-masukin lah ya. Kalau sekarang sih status saya nyonya gaul.

Akibat dari virus itu adalah saya sering mengatakan, "ke laut aja!" ke muka orang yang saya sebelin. Sebagai anak muda, saya dulu berdarah panas. Gampang terpancing emosi dan tentu saja banyak muka orang yang saya teriaki saya suruh pergi ke laut.

Sampai suatu ketika salah seorang teman dekat saya menegur:
"Kayaknya semua orang di kota ini udah kamu suruh ke laut deh! Kamu nggak liat, kota jadi sepi? Karena pada rame-rame piknik ke laut."

Akhirnya karena kesepian, saya pun packing dan nyusul ke laut.

Tuesday, August 26, 2014

Mahluk-mahluk Alpha

Dudut dan luka di telinga kanannya.
Perkenankanlah saya memperkenalkan Dudut,

seekor kucing Alpha di daerah perumahan saya. Pejantan berwarna oranye terang dengan taby yang lucu, serta suara ngeongan yang seperti bayi. Badannya tidak gemuk tapi bertulang besar, liat dan kekar. Pada cuping telinga kanannya terdapat bekas luka hasil dari perkelahian dengan pejantan lain, yang justru menambah kegagahannya.

Sebagai kucing Alpha, Dudut mempunyai hak-hak istimewa yang mau tidak mau diamini dalam diam oleh sejumlah kucing jelata di wilayahnya. Diantaranya: berhak untuk buang air dimana saja di wilayah tersebut tanpa mengubur tahi, berhak mengklaim makanan apapun yang dia lihat walau kucing lain terlebih dahulu menemukannya, berhak mengawini betina manapun pada daerah kekuasaannya, dan berhak menentukan tempat dimana dia mau beristirahat, pun bila tempat tersebut sudah terlebih dahulu dipakai oleh kucing jelata, cukup mendengar ngeongan Dudut yang seperti bayi, si jelata harus menyingkir.

Dudut menandai daerah kekuasaannya dengan bau air seninya yang disemprotkan pada pojok-pojok kawasan.

Berbagai hak tentunya dibarengi dengan kewajiban. Dudut berkewajiban menjaga agar para jelata tetap aman dari serangan kucing luar kawasan. Dudut juga menjaga agak kawasannya tidak terlalu penuh sesak oleh kucing-kucing lain, sehingga kucing-kucing jelatanya bisa tidur nyaman dan makan cukup.

Sebagai pihak luar yang netral dan bahkan bukan kucing, saya menilai Dudut adalah sesosok Alpha yang berkarisma, punya nilai moral, dan adil. Dudut tidak menyalah gunakan kekuasannya. Sebagai Alpha dia tidak pernah menyerang kucing-kucing jantan yang masih bayi, seperti yang biasa saya lihat dilakukan oleh alpha-alpha lain. Dudut juga tidak pernah merebut makanan dengan kekerasan. Jelatanya cukup mencintainya dan tahu diri, sehingga tanpa ditempelengpun, mereka sudah akan merelakan makanan mereka untuk Dudut.

Tapi Dudut tentunya bukan Tuhan bukan Dewata. Dudut hanyalah sesosok kucing, dan kabarnya, tidak ada yang sempurna selain Tuhan. Dudut tetaplah Alpha yang paling baik dimata saya, tapi tentunya sebagai mahluk fana dia tidak sempurna.

Saya teringat sesosok Alpha di suatu kawasan yang lebih luas pada jaman dahulu kala. Dia menyelamatkan jelata kawasan tersebut dari penjajahan asing, memandirikan, dan mengusir segala campur tangan alpha lain yang kejam, mengklaim kawasan tersebut sebagai milik bersama. Merdeka! Untuk beberapa saat dia dicintai jelata. Diamini sebagai Alpha seumur hidupnya di kawasan. Tapi kekuasaan membutakan hatinya. Menjelmalah si Alpha menjadi diktator yang harus dituruti maunya, dan mengambil betina sebanyak yang dia suka.

Rakyat jelata yang semula mencintainya habis-habisan mulai jengah. Kemudian munculah Apha baru dari kalangan jelata, Alpha yang baru saja menunjukan ke-Alpha-annya. Para jelata muda bahu-membahu membantu sang Alpha baru untuk merebut tahta Alpha lama. Alpha yang baru ini begitu ambisius sekaligus cerdik. Dengan segala cara, kekerasan, adu-domba, pemalsuan sejarah, bahkan diam-diam berkerja sama dengan Alpha asing kejam yang dulu pernah menjajah jelata kawasan, akhirnya Alpha baru berkuasa. Para jelata menutup mata karena sudah muak dengan Alpha lama yang kolot dan berbetina banyak. Jelata muda bersorak-sorai menyambut Alpha baru.

Tidak usah terlalu lama menunggu, munculah taring si Alpha. Pameran kekuasaan dimana-mana. Cakarnya mengoyak daging para jelata yang (walau hanya sedikit saja) berkata tidak padanya. Kekejamannya terasa mendirikan tengkuk, karena dia bisa meminum darah jelata-jelata pembangkang, sambil memamerkan senyum ramah dengan taring belepotan darah pada jelata-jelata yang tunduk. Keramahan yang berdarah.

Betapa mengherankan, Alpha yang begitu dicintai karena menyelamatkan jelata dari kekejaman Alpha asing kemudian menjelma menjadi Alpha kolot dan gelap mata. Betapa mengejutkan, Alpha yang awalnya didukung penuh oleh para jelata muda kemudian malah mengebiri dan mencabut lidah para jelata muda.

Dudut yang gagah dan imut bukanlah sosok yang sama seperti Alpha lama dan Alpha baru. Dia punya gaya dan karismanya sendiri. Dia menjadi Alpha tanpa perlu adegan pameran kekuasaan. Dia Alpha dalam kesederhanaannya. Saat ini jelata mencintainya.Saking cintanya sampai para jelata rela mencakar sesama, bahkan keluarganya sendiri, yang berani mengkritik Dudut.

Saya sungguh berharap bahwa Dudut akan tetaplah Dudut yang bijak, sederhana, dan dicintai oleh jelata kucing kawasan perumahan saya. Tapi saya berharap juga para jelata tidak terlalu terlena mendewakan Dudut. Dudut memang sangat berkarisma, tapi mungkin suatu saat dia perlu diceples sendal karena mencuri ikan. Karena Alpha yang begitu dicintai karena menyelamatkan jelata dari kekejaman Alpha asing bisa menjelma menjadi Alpha kolot dan gelap mata. Karena Alpha yang awalnya didukung penuh oleh para jelata muda kemudian malah bisa mengebiri dan mencabut lidah para jelata muda. Walau tentu saja kita berharap banyak bahwa Dudut tetaplah Dudut yang sederhana, bijak, dan berkarisma sampai akhir masa Alpha-nya.

"Miaw!"

Friday, August 22, 2014

bebersih dashboard

Semalam saya bersih-bersih dashboard blogger.

Cerita ini berawal ketika awal-awal saya pindah ke Jakarta dan pindah rumah. Saya bukan tipe orang yang praktis dan minimalis, walaupun saya saat ini sedang mencoba menjadi praktis. Barang saya banyak, termasuk berbagai macam pernak-pernik tanpa fungsi, bahkan yang sudah sangat jelek tapi masih menyimpan muatan memori. Saya bukan orang yang bisa dengan gampang membuang barang-barang.

Awalan pindah saya bener-bener stres. Gimana sih cara memindahkan 10 tahun hidup saya di Jogja ke dalam kotak-kotak kardus, koper, dan ransel, yang kemudian di bawa ke Jakarta? Pelan tapi pasti akhirnya saya pindahkan hidup saya, walau tentu saja masih ada jejak-jejak yang tertinggal di kota lama. Tapi tak apa karena itu perlu.

Ketika saya mulai menata kehidupan baru di kota baru, saya stres lagi. Kehidupan baru ini tidak semata-mata hidup saya, karena saya harus berbagi. Kondisi dan situasi kehidupan baru saya juga kurang kondusif untuk menyimpan berbagai pernik tanpa fungsi. Di tengah stres saya, bapak saya berkata: "Kamu harus bisa memilih. Mana yang harus dibuang dan mana yang disimpan. Sesuatu yang tidak berguna kalau disimpan cuma akan menjadi beban."

Sedikit demi sedikit saya menuruti nasehat beliau. Tapi sungguhpun saya berusaha, saya bukan orang yang praktis dan minimalis.

Beberapa hari yang lalu saya ngobrol-ngobrol dengan kawan blogger saya, Dika. Kebetulan kami punya masalah yang sama tentang dunia blogging, yaitu kurang semangat. Kami sama-sama tidak lagi bersemangat baca-tulis. Usut punya usut, sebenarnya kami bukan mengalami susut semangat, melainkan hanya peralihan minat. Hal-hal yang awalnya kami bilang menarik, saat ini mematikan selera. Hal-hal yang awalnya tidak kami lirik, saat ini terasa menggelitik.

Pun begitu dengan blog yang kami follow. Dulu adalah suatu ide bagus rasanya ketika mem-follow blog A. Saat ini selera saya berubah, dan ketika melihat newpost blog A pada dashboard blog saya, biasanya cuma saya scroll tanpa saya klik. Saya tidak lagi berminat untuk membaca blog A.

Beberapa hari yang lalu, saya memandangi dashboard blogger tanpa nafsu. Saya berharap menemukan konten menarik untuk saya baca, tapi ternyata setelah 3 halaman saya lalui birahi saya belum juga terungkit. Akhirnya saya beralih ke suatu forum komunitas blogger anu (Nggak, saya nggak aktif!). Lalu melihat-lihat list blog yang ada di sana, yang topiknya biasanya bukan kegemaran saya dan juga bukan pilihan yang biasanya saya tuliskan, dan saya menemukan banyak blog yang menarik minat saya. Saya mulai keasyikan blog walking dan klik follow.

Semalam, saya kembali memandangi dashboard blogger. Dan saya pening. Banyak sekali topik-topik yang saya tidak suka yang berjejalan dan menutupi topik-topik yang justru saya cari. Akhirnya saya memutuskan untuk membersihkan dashboard saya. Saya unfollow blog yang:
  1. Saya tidak suka dengan blog tersebut, saya jarang bersemangat membaca kalau blog tersebut di update, dan saya tidak kenal penulisnya (karena kalau kenal biasanya memicu perselisihan. Padahal yaelah cuma blog. Tapi sudahlah saya sedang nggak butuh drama.)
  2. Post terakhir blog tersebut ada pada tahun 2013. Kecuali yah kalau blog tersebut sangat saya suka dan saya berharap si blogger bakalan ngeblog lagi.
  3. Isi postingan blog yang bersangkutan membuat perasaan saya tidak enak. Mungkin karena isinya menjelek-jelekan orang lain (secara nomention tentu saja!), kritik terhadap cara berpakaian atau cara hidup orang lain, pembelaan membabi buta tanpa logika terhadap suatu agama/capres, share sesuatu yang memprovokasi dan belum tentu benar (bahkan biasanya sumbernya pun dia tidak tau!). Untuk poin ketiga ini kenal-nggak kenal saya unfollow :D
  4. Alasan simpel: saya ilfeel sama blogger-nya :D. Untuk alasan agar tidak salah alamat, saya memilih tidak menjelaskan perihal sebab-sebab ke-ilfeel-an saya.
Tentunya saya masih berpegang pada prinsip bahwa blog adalah jurnal pribadi. Setiap blogger punya hak untuk menuliskan apapun sejauh tidak merugikan orang lain. Saya pun tidak bilang kalau blog yang saya unfollw itu jelek dan tidak berguna. Bisa saja hal yang tidak berguna bagi saya menyelamatkan hidup orang lain. Bisa saja memang tidak berguna bagi orang lain namun punya arti yang besar bagi pemiliknya. Hanya saja blog-blog tersebut merupakan blog yang tidak saya pilih untuk menjadi bacaan saya.

Sekarang bersih dashboard saya agak lebih padang walau belum bersih sekali.

Thursday, May 29, 2014

Pilihan

Halo Wanita,
Bila pada suatu ketika, kamu mendapati dirimu menghadapi dilema, karena harus memilih suatu hal yang besar dalam hidupmu, apa yang kamu lakukan? Kalau saya, mungkin karena saya wanita yang pada dasarnya wanita itu senang bercengkrama, atau mungkin karena saya adalah saya yang suka kepo, saya akan melakukan curhat kesana dan kesini.

Jadi suatu ketika itu datang dihadapan saya, dengan wujud dua orang laki-laki yang mungkin bisa mengubah hidup saya. Apakah saya harus memilih si A atau si B? "Satu bulan! Take your time!" Kata mereka. Lalu saya mengambil waktu untuk berpikir, mengamati, dan merenungi. Dan seiring berjalannya waktu saya bukannya makin tau apa yang saya mau malah semakin galau.

Maka kemudian saya melakukan curhat, tidak hanya kepada satu orang, tidak hanya kepada satu kelompok. Tapi saya obral cerita kesana, kesana, kesana, kemana-mana. "Beb, aku galau, beb!" Begitu biasanya curhat dimulai. Dan karena teman-teman saya mungkin adalah kepoers sejati, atau mungkin hanya karena mereka teman yang baik, atau sesungguhnya mungkin mereka adalah orang yang baik pada dasarnya, mereka semua meluangkan waktu untuk mendengarkan kegelisahan saya.

"Jadi, pilih si A atau si B?"

Sebenarnya mereka bukan pilihan yang seimbang kalau kata saya. Dua-duanya jelas sama-sama orang hebat. Tapi pria yang satunya sudah terlalu sering mematahkan hati banyak orang, sehingga orang-orang jelas tidak simpatik sama dia. Boleh dikatakan, kalau saya buat list kejelekan mereka berdua yang kemudian saya jajarkan, saya akan langsung bisa menentukan tambatan hati, karena oh...sungguh deh, pria yang satu itu begitu menyedihkan masa lalunya.

Dan taukah, dari semua orang yang saya tanyai, 100% menjawab: "sudah jelaslah kamu harus memilih si A."

"Kenapa?"

"Karena si B begitu tak tertolong."

Semakin saya kejar dengan "kenapa?", akan semakin panjang list kejelekan si B.

Tapi taukan kalian, terkadang sebagai wanita saya ingin memilih pria yang baik. Karena pada dasarnya dia baik. Bukan baik karena disandingkan dengan orang lain yang jauh lebih buruk.

Dan semakin mereka bersemangat menjelek-jelekan si B

"suka main wanita"
"tidak setia"
"sombong"
"kentutnya bau"
"tidak suka kucing"
"kurang ramah"
"tidak punya selera humor"
"tidak punya akun instagram"

Semakin saya bertanya-tanya, sebenernya layakkah si A saya pilih? Apa sih kebaikan si A, selain bahwa si B lebih jelek darinya?

Dan tahukan kalian kalau saya selalu punya pilihan ketiga, yaitu diri saya sendiri?
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...